20th Berlalu Sumarsih Tetap Mencari Keadilan Bagi Wawan Korban Tragedi 1998

Berita400 Views
Sunarsih saat acara Womens’s Talk, Perempuan penembus batas yg digelar LBH Jakarta.[Nicholas/radarindonesianews.com]
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA – Ibu Sumarsih, memberikan testimoni saat menghadiri perayaan Hari Perempuan yang digelar Kantor LBH ‘Women’Talk’ Perempuan Perempuan Penembus Batas Jakarta, Minggu (3/3), menceritakan bahwa ia selaku Ibunya Wawan (Mahasiswa Korban Tragedi Penembakan tahun 1998), Bagaimana ‘wawan’ hidupnya terhenti 20 tahun lalu, tepatnya Jumat, 13 november 1998 di tengah arus demonstrasi. 
Mahasiswa menolak SI MPR, dan menuntut turunnya Soeharto. Wawan lebih memilih menjadi anggota relawan untuk kemanusiaan membantu demonstran yang kelelahan dan terluka.
Pada pagi yang kelabu itu, jumat jam 10 pagi, Wawan bersama enam orang temannya, membersihkan udara dari gas air mata dengan menyemprotkan air. Ketika ia melihat temannya tertembak, Wawan meminta izin pada seorang perwira miiter untuk memberikan pertolongan.”Setelah izin diberikan wawan memberikan bendera putih sebagai tanda untuk memberikan pertolongan. Ia tiba tiba ditembak,” papar Sumarsih.
“Berbulan bulan saya hanya menangis, berdoa dan membaca kitab suci, Suami saya untuk tetap membaca dan menulis, anak saya yang lain, Irma berusaha untuk belajar,” ucapnya terbata bata.
“Setiap orang berusaha untuk berbuat sesuau memberikan penghiburan dan menyemangati. Suatu ketika..timbul keinginan, saya untuk mengetahui, Bagaimana aparat militer mengamankan para demonstran. Untuk itu saya harus turun ke jalan,” ungkap Sumarsih.
Lanjut, kemudian pada april 1999, saya mengikuti aksi damai, yang diselenggarakan oleh aktivis perempuan pada tiap hari jumat sore di bunderan Hotel Indonesia. Kemudian tergabung dengan paguyuban keluarga korban tragedi 13-15 mei 1998, semanggi I 13 november 1998, semanggi II 24 september 1999, dan tim relawan kemanusiaan.
Kami mencoba untuk membongkar paksa kebenaran. Semua sudah kami lakukan, audiensi, lobi, demonstrasi, menghadiri diskusi, hearing, namun sepertinya perjuangan itu menghadapi tembok besi yang sangat kuat, hingga akhirnya paguyuban itu bubar.
UU nomor 26 tahun 2000 mengenai pengadilan HAM, harap Sumarsih mampu mengarahkan perjuangan untuk mencari Keadilan. 
“Kekerasan tidak bisa dilawan dengan kekerasan.Pada 9 agustus 2005, berdiri jaringan solidaritas korban untuk keadilan,” jelas Sumarsih.
Kemudian, sejak tgl 18 januari 2007 melakukan aksi damai dengan diam, berdiri di sepanjang police line, mengenakan pakaian hitam, menggelar spanduk, berpayung hitam, membagikan selebaran, menggelar foto korban, kepada para pengguna jalan. Pada tiap kamis jam 4-5 sore di depan Istana Presiden, jalan Medan Merdeka Utara Jakpus.
“Tempat kami silaturahmi, dan berkonsolidasi, dan mengkritisi kebijakan pemerintah yang tidak pro rakyat. Baik disana ada mahasiswa yang melakukan skripsi, tesis, disertasi, jurnalis, fotografer, juga ada anak anak siswa SMA yang membuat karya tulis, film, foto,” ungkapnya.
“Aksi kamisan berlipat ganda di berbagai kota, menginspirasi untuk anak anak muda, untuk menyuarakan permasalahan rakyat yang belum ditangani baik pusat dan daerah,” ujar Sumarsih.
“Aksi kamisan adalah cara kami bertahan untuk berjuang membongkar paksa keadilan, mencari keadilan, melawan lupa, melawan impuinitas, dan juga melanjutkan perjuangan reformasi untuk demokrasi,” paparnya.
“Wawan pernah bilang “Perjuangan belum selesai, banyak yang tidak tahan bergelantungan di bis umum, dan menggunakan telp umum,” ucapnya.
“Agenda ketiga dari 6 agenda reformasi yang diperjuangkan Wawan bersama kawan kawannya, sebagai ibu yang melahirkan Wawan saya berkeinginan untuk melanjutkan perjuangan itu. Panjang umur solidaritas, Terima Kasih,” tutupnya.[Nicholas]

Comment